Wednesday, April 8, 2015

Aku, Sahabatku Dan Cita Cita kita

Saat ditanya tentang cita-cita, tidak setiap orang mampu menjawab dengan yakin. Mungkin kebanyakan dari mereka, menjawab dengan terpaksa. Karena tak mau dibilang manusia tak bercita-cita. Dari sejak kecil, aku bingung kalau ditanya soal ini. Apa cita-citaku?
Belum ada jawaban yang pasti, bahkan sampai ketika aku sudah menginjakkan kakiku di bangku SMA.
Berbeda dengan Ujang. Sahabat karibku sejak kelas satu SMP itu, selalu menjawab dengan mantap kalau ditanya soal cita-cita.
“Aku ingin menjadi dokter!” Jawabnya ketika bu Liza, guru bahasa Indonesia dulu waktu kami masih SMP kelas satu.
Aku tak pernah menganggap ia serius dengan kata-katanya. Meski ia meyakinkanku berpuluh bahkan beratuskali, aku tetap tak yakin.
“Aku beneran mau jadi dokter, Yanto!”
“Ha ha ha… iya iya, aku percaya. Percaya kalau itu hanya mimpi!”
“Yanto! Kau ini jadi sahabat tapi malah seneng banget ngeledek! Kata almarhum Bapak, kalau punya mimpi itu harus. Dan kita harus yakin mampu meraihnya!”
“Iyo iyo. Tapi kita juga harus kira-kira lah. Kamu tau ndak, biaya kuliah kedokteran itu, muahaaalnya minta ampun. Si Ade, anaknya pa Haji Ahmad, orang yang paling kaya di kampung kita sekalipun, juga tak mampu kuliah kedokteran.”
“Oalah, terus kamu mau bilang, apalagi aku? Yang cuman anak yatim dari seorang ibu tukang cuci di rumah haji Ahmad gitu?”
Aku tak tega melihat dia manyun.
“Nggak gitu juga, Jang. Eh, dr. Ujang! Ha ha ha. Lucu! Kayaknya kalau jadi, bakalan jadi satu-satunya dokter yang punya nama unik. dr. Ujang! Ha ha ha.” Aku kembali meledeknya. Seneng rasanya bisa menertawai si Ujang. Sahabatku yang luar biasa itu.
Ujang memang sahabat yang amazing! Dalam segala keterbatasannya, dia mampu menantang dunia dengan mimpinya ingin menjadi dokter.
Aku sebenarnya mendukung cita-cita sahabatku itu. Tapi, sekuat apapun dukunganku, tak akan benar-benar bisa membantunya. Makanya, aku hanya selalu menjadikan tema cita-citanya penuh dengan guyonan. Biar tatkala tak tercapai, tidak membuat sahabatku itu down.
Kalau saja Ujang dari keluarga mampu, aku sangat yakin ia akan dengan mudah meraih cita-citanya itu. Karena ia anak yang pintar dan juga sangat rajin.
Tak pernah sekali pun aku melihat dia tidak masuk sekolah. Meskipun sakit, ia tetap masuk sekolah.
“Kamu kan sakit, Jang. Kenapa pula tetep sekolah? Tak sekolah satu hari, tak akan membuatmu ketinggalan, apalagi tidak naik kelas! Kamu bisa pinjam catatanku kan!”
“Oh tidak tidak! Selagi aku mampu berjalan kaki ke sekolah, selagi aku mampu bergerak bebas, aku akan tetap berangkat sekolah. Cuman sakit flu, batuk dan demam ringan gini, gak masalah!”
“Yo wis, up to you aja lah! Kamu memang merekedeweng (keras kepala)!”
“Kata almarhum bapakku, kita harus gigih dalam berjuang. Tak mengenal letih, apalagi menyerah! Sakit ringan adalah bagian dari ujian. Apakah aku tetap gigih dalam berjuang, atau menyerah.”
Mulai deh! Ujang ditinggalkan oleh bapakknya ketika dia masih kelas lima SD. Tapi, entah berapa banyak wejangan ayahnya yang telah melekat dalam memori sahabatku itu.
“Jang! Kamu berniat mengganti cita-citamu gak? Kalau iya, aku mau ngajak kamu, supaya kita menyamakan cita-cita! Jadi nanti kita bisa kerja sama untuk meraihnya!” Kataku suatu ketika.
Ujang memelototiku, sebelum berkata dengan nada tegas.
“Kamu fikir cita-cita itu main-main! Kalau aku bilang aku mau jadi dokter, ya sudah! Kamu kok nggak pernah suka. Kamu fikir, kelakuanmu itu tak menyakiti perasaanku apa? Sahabat kok kayak gitu!!!”
“Lho, Jang! Kamu jangan marah gitu dong. Aku cuman mau mengajak kamu untuk lebih bisa melihat realita! Dan kebetulan aku sudah mulai menemukan cita-citaku! Setelah selama ini aku kebingungan. Nah, karena kamu sahabat aku, aku ingin kita bisa selalu bersama. Jadi aku mengajakmu menyamakan cita-cita kita. Eeeh, kamunya malah marah. Dongkol aku jadinya!”
“Kamu kalau sudah punya cita-cita, ya syukur! Tapi tak usah ajak-ajak aku. Kamu berjuanglah sendiri seperti aku juga berjuang sendiri. Ngomong-ngomong cita-citamu apa, To?” Dengan tampang yang polos, dia bertanya sambil menatapku.
Ha, dia penasaran juga rupanya.
“Rahasia ah! Habisnya kamunya kayak gitu.”
“Lho lho! Kayak gitu gimana? Salahkah aku untuk mempertahankan apa yang menjadi cita-citaku? Yanto! Kata almarhum ayahku, kita harus memegang cita-cita kita dengan erat dan yakin kita bisa mencapainya. Kalau tidak, maka arah hidup kita tak akan jelas. Tak peduli seberapa berat dan seberapa terjal jalan yang harus kita lalui untuk menggapainya.
Kamu juga! Aku dukung cita-citamu apapun itu selagi positif. Berjuanglah! Meski aku tak ada di jalan yang sama, tapi aku selalu mendukungmu!!!”
“Okey okey dr. Ujang! Thank alot for your motivation!” Ucapku menutup sesi ceramahnya.
Dan begitulah kami dalam menjalin teman. Hampir bisa dibilang, setiap kali bercakap dengannya, selalu ada hal yang bisa aku dapat. Lebih tepatnya, si Ujang yang selalu kuledek itu adalah sahabat sekaligus mentor hidup aku.
Aku beruntung punya sahabat seperti dia. Dia menunjukkan padaku, tak harus banyak uang untuk bisa pintar. Karena dulu aku selalu berkilah, ya pantes aja si Ade suka juara kelas, fasilitas buat belajarnya juga banyak banget.
Tapi si Ujang, hanya bermodalkan pulpen dan buku tulis, dia mampu menjadi juara, bahkan mengalahkan Ade. Ade juara waktu SMP karena beda sekolah sama Ujang.
Ujang bisa seperti itu karena ia selalu mencatat sekecil apapun yang dijelaskan oleh guru.
Ia juga selalu meminjam buku dari perpustakaan untuk kemudian dibaca, disalin apa yang penting dan susah diingat. Ia belajar tak tau tempat. Sampai-sampai aku terkadang muak juga dengan kelakuannya itu.
“Ngapain kamu balik lagi, Jang?” Tanyaku saat dia kembali ke kelas, padahal ia sudah tak tahan ingin ke kamar mandi.
“Aku lupa bawa buku catatan!”
Iji gile!
“Tak bawa sekali tak membuatmu dapat nilai nol, kawan! Awas lho kalu sampai … disini!” Kataku sambil melihat dia dengan terburu-buru mengambil buku catatannya.
Dia tak membalas ucapanku dan langsung kabur lagi ke kamar mandi.
Setelah dari kamar mandi, dia langsung menghardikku.
“Hai Yanto! Kamu tau, berapa lama aku habiskan waktuku di kamar mandi?”
Aku menggeleng.
“Sepuluh menit mungkin!”
“Kamu salah! Hampir lima belas menit! Nah, kalau aku tak membawa buku catatan, maka apa yang aku lakukan dalam waktu yang sebanyak itu? Diam saja menikmati pemandangan yang membosankan? Tidak tidak! Aku tak biasa seperti itu. Dan kamu harus tau rahasia ini. Bahwa belajar disana itu, lebih mudah diingat dari pada di tempat lain. He he.” Hiiiy dasar Ujang.
Dan satu hal lagi yang menarik dari diri sahabatku itu. Ia tak pernah terlihat punya keinginan untuk pacaran. Alasannya sih klise. Ingin fokus belajar. Berjuang meraih cita-cita dengan serius.
“Buat apa sih pacaran? Buang-buang waktu dan energi saja.”
“Kalau dengan pacaran jadi nambah semangat dalam belajar gimana?” Kataku.
“Ngawur itu! Lah emang kita berprestasi karena orang lain? Gimana kalau di tengah jalan putus? Apakah semangat kita juga akan tetap sama? Bukankah akan putus seiring putusnya penyemangat kita? Makanya, cari penyemangat yang abadi!”
Aku kalah lagi! Jago kamu Jang!
Sampai kelulusan, aku melihat Ujang selalu jadi juara. Ia pun masih tetap memegang impiannya jadi seorang dokter.
Sedangkan aku, cita-citaku sederhana saja, menjadi guru PNS. Ya! Seperti cita-cita kebanyakan orang. Tapi tak apa, meski sainganku banyak, tapi setidaknya aku punya satu cita-cita, yang jalannya mudah aku lalui, walau untuk sampai kesana juga tak tau pasti kapan.
Aku ngambil kuliah fakultas pendidikan di sebuah perguruan tinggi swasta di kotaku. Sedangkan Ujang, sejauh ini yang kuketahui, dia sibuk kesana kemari untuk mencari beasiswa kedokteran. Ya! Karena keterbatasan ekonomi, dia akhirnya memilih jalur beasiswa.
Tapi tak seperti yang dibayangkannya.
“Ternyata, susah sekali ya menemukan beasiswa kedokteran, To!” Curhatnya saat berkunjung ke rumahku.
“Ya iya! Orang biayanya melangit. Rugi juga mereka kalau membuka beasiswa kedokteran.”
Tapi, aku tak melihat ia putus semangat.
Sampai saat ini, ketika aku sudah semester 4, aku tak mendapati kabar lagi dari Ujang. Dia lenyap entah kemana. Nomor handphonennya juga sudah tak bisa dihubungi.
Aku datang ke rumahnya juga tak ada batang hidungnya. Ibunya juga tak nyerita banyak. Hanya bilang, kalau Ujang ada urusan penting di luar kota.
Biarlah, mungkin suatu saat dia akan kembali.
Benar saja. Siang itu, tatkala matahari sedang begitu terik memanasi bumi, Ujang datang ke kampusku, ia tersenyum simpul dari kejauhan. Aku hanya membalas senyumannya sambil terburu-buru menghampirinya.
“dr. Ujang! Kemana saja kau?”
“Ha ha ha. Ada yang kangen rupanya!”
“Idiiih, emangnya kamu sendiri tak ngangenin sahabatmu yang baik ini apa?” Kataku membalasnya.
“Iya iya, kangeeen banget. Hua ha ha ha.”
“Ah, kamu! Ketawa aja. Jawab pertanyaan aku! Kemana aja? Lama banget gak nongol di bumi ini?”
“Woi!!! Aku selama ini nggak nongol, bukan berarti aku nggak ada di bumi! Ya sudah nggak penting dibahas. Aku sibuk kuliah, bro!” Kuliah?
“Awalnya aku tak terima, aku hampir putus harapan mencari beasiswa kedokteran yang tak kunjung membuahkan hasil. Akhirnya aku mendaftar beasiswa lain. Dan dengan begitu mudahnya aku keterima.” Dia tak melanjutkan ceritanya.
“Terus kamu kuliah apa? Dimana, Jang?”
“Tuh kan, penasaran! Aku keterima kuliah di…” ujang menahan kalimatnya. Dasar Ujang! Bikin penasaran aja.
Dia mengeluarkan jas dari tasnya, menunjukkan logo yang menempel pada jasnya itu. Dan gambar itu telah berhasil menyulapku menjadi manusia cengeng dalam seketika. Betapa tidak terharu, gambar itu bertuliskan, ‘Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia’.
Ujang bercerita padaku tentang banyak hal. Namun, fikiranku yang masih tidak percaya, tenggelam pada bayang-bayang masa lalu, masa dimana aku selalu mengejek cita-citanya, masa dimana dia berjuang jungkir balik untuk bisa meraihnya, dan sekarang ia telah memamerkan hasilnya padaku, maka cairan bening pun tak dapat kutahan lagi, tik tik tik…
“Selamat ya bro…!”

1. Aku, Sahabatku Dan Cita Cita Kita
2. Tema: Sepasang sahabat yang berusaha meraih cita cita                               mereka
    Alur: Maju
    Penokohan: Ujang -> teguh pendirian, tekun, rajin, dewasa,                                                pantang menyerah.
                        Yanto -> jahil
    Latar tempat: Sekolah, toilet, kampus, rumah
    Latar Waktu: siang, pagi
    Sudut pandang: sudut pandang orang pertama.

3. Jangan pernah menyerah

Sunday, April 5, 2015

CERITA PENDEK (CERPEN)

A. Pengertian Cerita Pendek

Pengertian cerpen dan menurut para ahli beserta unsur-unsurnya dapat kamu pahami serta cermati di artikel ini. Cerpen adalah cerita pendek, jenis karya sastra yang memaparkan kisah ataupun cerita tentang manusia beserta seluk beluknya lewat tulisan pendek. Atau definisi cerpen yang lainnya yaitu merupakan karangan fiktif yang isinya sebagian kehidupan seseorang atau juga kehidupan yang diceritakan secara ringkas yang berfokus pada suatu tokoh sja. Maksud dari cerita pendek disini ialah ceritanya kurang dari 10.000 (sepuluh ribu) kata atau kurang dari 10 (sepuluh) halaman. Selain itu, cerpen hanya memberikan kesan tunggal yang demikian dan memusatkan diri pada satu tokoh dan satu situasi saja.

B. Unsur Unsur Cerita Pendek


Unsur intrinsik cerpen

A. Tema

Gagasan pokok yang mendasari dari sebuah cerita. Tema-tema pada umumnya yang terdapat dalam sebuah cerita biasanya dapat langsung terlihat jelas di dalam cerita (tersurat) dan tidak langsung, dimana si pembaca harus bisa menyimpulkan sendiri (tersirat).

B. Alur (Plot)

Jalan dari cerita sebuah karya sastra. Secara garis besarnya urutan tahapan alur dalam sebuah cerita antara antara lain: perkenalan > mucul konflik atau permasalahan > peningkatan konflik - puncak konflik atau klimaks > penurunan konflik > penyelesaian.

C. Setting atau latar

Kalau setting sangat berkaitan dengan tempat, waktu, dan suasana dalam sebuah cerita tersebut.

D. Tokoh Atau Pelaku

Yaitu pelaku pada sebuah cerita. Setiap tokoh biasanya mempunyai watak , sikap, sifat dan juga kondisi fisik yang disebut dengan perwatakan atau karakter. Dalam cerita terdapat tokoh protagonis (tokoh utama dalam sebuah cerita), antagonis (lawan dari tokoh utama atau protagonis) dan tokoh figuran  (tokoh pendukung untuk cerita).

E. Penokohan (perwatakan)

Pemberian sifat pada tokoh atau pelaku cerita. Sifat yang telah diberikan akan tercermin pada pikiran, ucapan, serta pandangan tokoh terhadap sesuatu. Metode penokohan ada 2 (dua) macam diantaranya:
Metode analitik adalah metode penokohan yang memaparkan ataupun menyebutkan sifat tokoh secara langsung, misalnya seperti: penakut, sombong, pemalu, pemarah, keras kepala, dll.
Metode dramatik adalah suatu metode penokohan secara tidak langsung memaparkan atau menggambarkan sifat tokoh melalui: Penggambaran fisik (Misalnya berpakaian, postur tubuh, bentuk rambut, warna kulit, dll), penggambaran melalui percakapan yang dilakukan oleh tokoh lain, Teknik reaksi tokoh lain (berupa pandangan, pendapat, sikap, dsb).

F. Sudut Pandang (Point of View)

Adalah visi pengarang dalam memandang suatu peristiwa di dalam cerita. Ada beberapa macam sudut pandang, diantaranya yaitu sudut pandang orang pertama (gaya bahasa dengan sudut pandang  “aku”), sudut pandang peninjau (orang ke-3), dan sudut pandang campuran. Sudut pandang sama juga dengan kata ganti orang. Secara umum, sudut pandang atau kata ganti orang dibagi menjadi 3 macam, yaitu :

1. Kata ganti orang pertama (orang yang berbicara):
  • Tunggal, yaitu ditandai oleh kata “aku , saya” dll.
  • Jamak, yaitu ditandai oleh “kata kami dan kita”.
2. Kata ganti orang kedua (orang yang dibicarakan)
  • Tunggal, yaitu ditandai oleh kata “kamu, engkau, saudara, ada, bapak,” dll.
  • Jamak, yaitu ditandai oleh kata “kalian”.
3. Kata ganti orang ketiga (orang yang dibicarakan)
  • Tunggal, yaitu ditandai oleh kata “Ia, dia, beliau,” dll.
  • Jamak, taitu ditandai oleh kata “mereka”.
4. Amanat atau pesan

Yaitu amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya kepada pembaca atau pendengar. Pesan bisa berupa harapan, nasehat, dan sebagainya.

Unsur ekstrinsik cerpen

Unsur ekstrinsik cerpen adalah unsur yang membentuk yang terdapat di luar cerpen itu sendiri(unsur yang berada di luar karya sastra). Unsur-unsur ekstrinsik dari cerpen tidak bisa terlepas dari keadaan masyarakat saat diman cerpen itu dibuat oleh si penulis. Unsur ini sangat memiliki banyak pengaruh pada penyajian amanat maupun latar belakang dari cerpen itu sendiri. Dibawah ini akan unsur ekstrinsik dari cerpen diantaranya:

A. Latar belakang masyarakat

Yaitu pengaruh dari kondisi latar belakang masyarakat sangat lah berpengaruh besar terhadap terbentuknya sebuah cerita khususnya cerpen. Pemahaman itu bisa berupa pengkajian Ideologi negara, kondisi politik negara, kondisi sosial masyarakat, sampai dengan kondisi ekonomi masyarakat.

B. Latar belakang pengarang

Ini bisa meliputi pemahaman kita terhadap sejarah hidup dan sejarah hasil karangan yang sebelumnya. Latar belakang pengarang biasanya terdiri dari:
  • Biografi, Ini berisikan mengenai riwayat hidup pengarang cerita, yang ditulis secara keseluruhan.
  • Kondisi psikologis, ini berisi mengenai pemahaman kondisi mood atau keadaan yang mengharuskan seorang pengarang menulis cerita atau cerpen.
  • Aliran Sastra, seorang penulis pastinya akan mengikuti aliran sastra tertentu. Ini sangatlah berpengaruh pada gaya penulisan yang dipakai oleh penulis dalam menciptakan sebuah karya sastra.

C. Nilai Nilai Dalam Cerpen

1. Nilai moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan akhlak/budi pekerti/susila atau baik buruk tingkah laku.
2. Nilai sosial/kemasyarakatan, yaitu nilai yang berkaitan dengan norma yang berada di dalam masyarakat.
3. Nilai religius/keagamaan, yaitu nilai yang berkaitan dengan tuntutan beragama.
4. Nilai pendidikan/edukasi, yaitu nilai yang berkaitan dengan pengubahan tingkah laku dari baik ke buruk
    (pengajaran).
5. Nilai estetis/keindahan, yaitu nilai yang berkaitan dengan hal-hal yang menarik/menyenangkan (rasa
    seni).
6. Nilai etika, yaitu nilai yang berkaitan dengan sopan santun dalam kehidupan.
7. Nilai politis, yaitu nilai yang berkaitan dengan pemerintahan.
8. Nilai budaya, yaitu nilai yang berkaitan dengan adat istiadat.
9. Nilai kemanusiaan, yaitu nilai yang berhubungan dengan sifat-sifat manusia. Nilai-nilai ini ada yang bersifat  ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, budaya, edukatif, humoris, dan sebagainya.


D. Teknik Menulis Cerpen

     1Menangkap ide
Langkah awal agar bisa menulis sebuah cerita adalah memiliki ide cerita. Ide cerita tidak harus yang rumit-rumit. Kejadian sehari-hari yang dilihat atau dialami bisa menjadi ide cerita. Ide ini dapat juga dijadikan judul cerita. Misalnya melihat seorang gadis sedang menyapu halaman. Itu bisa menjadi ide cerita sekaligus dapat dijadikan judul, “Gadis Penyapu Halaman”. Kalau judulnya dirasa kurang pas, bisa diganti dengan judul yang lain.

2. Menulis dengan gaya bahasa sendiri
Langkah selanjutnya adalah menuliskannya dengan gaya bahasa sendiri. Orang yang bisa baca tulis tentu bisa melakukannya. Ini yang kadang enggan dilakukan oleh pemula. Rasa pesimis sudah menghantui padahal belum mencoba. Bagaimana akan bisa jika mencoba pun tak dilakukan? Menulis dengan gaya bahasa sendiri berarti menulis dengan gaya yang biasa dilakukan. Berarti pula menulis sebisanya, ya sebisanya saja. Tak perlu dipaksakan dengan gaya bahasa yang mendayu ala Khahlil Gibran misalnya. Kalau bisanya cuma sepanjang 2000 karakter, itu bagus. Itu adalah proses menuju ke cerpen sepanjang 7000 karakter atau lebih. Kalau suka menulis narasi saja, itu bagus. Kalau menulis banyak dialognya, itu juga bagus. Semua bagus, yang penting menghasilkan tulisan.


3. Membuat paragraf pembuka
Tulisan yang digores pertama kali adalah paragraf pembuka. Membuat paragraf pembuka juga tidak perlu rumit-rumit. Namun demikian, yang perlu diperhatikan bahwa bagian ini adalah bagian yang penting sebagaimana judul cerpen. Ada yang mengibaratkan bagian ini seperti manekin (patung pajangan) yang dipasang di etalase sebuah toko. Hal itu berarti harus menarik, agar pembaca terpancing untuk terus membacanya.


4. Merangkai alur dan plot
Langkah selanjutnya adalah melanjutkan paragraf pembuka yang sudah ditulis. Merangkai kejadian demi kejadian. Dialog demi dialog. Narasi demi narasi. Alur dan plot akan terbentuk dengan sendirinya. Tuliskan saja apa yang ada di kepala dengan cara Anda sendiri, maka menulis pun menjadi lancar. Jika hanya berupa narasi dan deskripsi saja, itu bagus. Jika banyak dialognya juga bagus. Semua sah-sah saja. Jika baru mampu 2000 karakter, itu bagus. Harus dicoba menulis, menulis, dan menulis lagi. Lambat laun akan bisa mencapai 7000 karakter atau lebih.


5. Membuat paragraf penutup
Paragraf penutup juga hal yang sangat penting. Bagaimana sebuah cerita menjadi lengkap dipengaruhi oleh bagian ini. Jika bagian yang disebut ending ini bagus, maka cerpen pun bisa terdongkrak menjadi cerpen yang bagus. Bagian ini dapat ditulis dengan ending tertutup, ending terbuka, dan ending mengejutkan.


6. Mengendapkan tulisan
Setelah cerpen selesai ditulis, dapat diendapkan terlebih dulu. Waktunya bisa singkat, bisa lama. Tergantung penulisnya. Pengendapan ini bertujuan untuk memberi jeda sebelum diedit.


7. Mengedit tulisan
Cerpen yang telah diendapkan kemudian dibaca lagi. Hal itu untuk mengetahui kesalahan tanda baca, EYD, logika cerita, dan sebagainya. Lakukan pengeditan secukupnya. Setelah itu berarti tulisan siap disajikan.


8. Menulis lagi, belajar lagi, menulis lagi, demikian seterusnya
Setelah menulis satu cerpen, jangan cepat puas. Setelah ada yang menganggap cerpennya bagus, jangan cepat puas. Setelah cerpennya dimuat di media cetak, jangan cepat puas. Demikian seterusnya. Menulis lagi, belajar lagi, dan menulis lagi